Selasa, 22 Desember 2015

ARTIKEL MODEL PENELITIAN HADIS


“MODEL-MODEL PENELITIAN HADIS”

Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-hadis pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan pengertian terhadap al-hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al-Qur’an dan hadis berbeda. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul)nya al-Qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’anpun yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan al-hadis. Dari segi datangnya hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah aga kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segepan tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadis, dan hasilnya penelitiannya itu dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan Sahih Muslim (820-875).
Karena begitu luasnya peredaran dan pengaruhnya dari kedua macam kitab tersebut, maka belakangan datang para peneliti yang selain menggunakan pendekatan perbandingan (comparativ) juga melakukan kritik. Ulama yang paling keras mengkritik Bukhari adalah al-Daruquthni. Ia mengatakan bahwa tidak semua hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim diterima oleh ulama secara sepakat. Di antara ulama yang tidak menerima adalah dia sendiri, karena di dalamnya terdapat hadis mu’allaq. Bagian-bagian lain yang dikritik antara lain: a) Berkaitan dengan lebih atau kurangnya rawi; b) berkaitan dengan perbedaan rawi disebabkan perubahan sanad; c) Berkaitan dengan penyendirian (fard) rawi; dan penyebutannya pada kali yang lain tanpa sanad hanya sebagai syahid saja.
Sebagaimana halnya pada Bukhari, pada Muslimpun datang pula ulama yang memuji dan mengkritiknya. Ulama yang memuji Muslim antara lain ulama dari al-Maghriby dan al-Naisaburi. Sedangkan ulama yang mengkritiknya seperti al-Daruquthny yang mengatakan: “Seandainya tidak ada Bukhari, Muslim tidak akan ada.” Kritik yang bernada meremehkan Imam Muslim ini berkisar pada masalah sanad atau matan.

Namun demikian kritik terhadap kedua kitab tersebut tidak akan sampai menjatuhkan kesahihan kitab tersebut, dengan dua alasan: a) Kritik pada sanad itu muncul ketika Bukhari menerima riwayat seseorang yang oleh orang lain diangap memiliki kelemahan karena dia menganggap lebih dekat dan lebih tahu terhadap rawi tersebut; b) terdapatnya hadis-hadis mu’allaq dalam Sahih Bukhari hanyalah sekedar untuk menjelaskan hadis-hadis lainnya yang sanadnya sudah ada.

Selanjutnya terdapat pula penelitian terhadap hadis Bukhari Muslim dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih bukhari lebih tinggi nilainya dari Sahih Muslim dengan alasan: 1) Persyaratan yang dikemukakan Bukhari lebih ketat dibandingkan persyaratan yang dikeluarkan Muslim; 2) Kenyataan menunjukan bahwa kritik terhadap Bukhari lebih sedikit dibandingkan kritik yang ditujukan pada Imam Muslim. Hal ini dapat dilihat, misalnya: a) Rijal hadis Bukhari yang dikritik hanya 80 orang, sedangkan terhadap Muslim 180 orang; b) Kritik terhadap matan al-Bukhari haya 76 orang, sedangkan terhadap Muslim 180 orang; 3) Perawi hadis Bukhari yang dikritik adalah orang-orang yang diketahiu keadaannya oleh Bukhari, atau Bukhari lebih kenal pada orang tersebut daripada orang yang mengkritiknya.

Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Sahih Muslim jauh lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihan tersebut antara lain: 1) Sistematikanya lebih baik; 2) Dari segi redaksi, Muslim lebih diterima daripada Bukhari, karen Muslim lebih banyak meriwayatkan dengan lafadz, sedangkan Bukhari lebih banyak meriwayatkan dengan makna, sehingga redaksinya memiliki kelemahan. Hal ini antara lain, karena Bukhari setelah mendengar hadis dari salah seorang perawi tidak langsung menuliskannya sehingga kemungkinan lupa bisa terjadi. Oleh karena itu jika dijumpai perbedaan matan yang terdapat pada kedua kitab tersebut, maka yang dipakai adalah matan yang berasal dari Imam Muslim.

Melihat beberapa kelebihan yang terdapat pada Imam Muslim tersebut, maka ulama Maghriby menganggap bahwa hadis Sahih Muslim lebih tinggi kedudukannya dibandingkan hadis Sahih Bukhari, karena meskipun persyaratan Muslim dalam menerima hadis lebih sedikit dibandingkan dengan persyaratan bukhari, namun sudah dianggap memenuhi persyaratan minimal, sedangkan penamhan liqa’ yakni harus berjumpa antara sesama perawi dalam hadis Bukhari, mereka menganggapnya sebagai berlebih-lebihan.

Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli mengenai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab tersebut. Hal ini hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun hebatnya penelitian tersebut tetap memiliki kelemahan, disamping kelebihan masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal di bidang hadis. Peneliti hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.
1.      Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadis menunjukan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya yang brejudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadis, yaitu mengenai hubungan hadis dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadis termasuk pula al-Qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis, dan bukan uji hipotesa.
Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadis terhadap al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an menekankan bahwa Rasul SAW. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Qs. 16:44). Penjelasan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

2.   Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa al-Siba’iy yang dikenla sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan Ikhwanul Muslim, selain banyak menulis (meneliti) tentang masalah-masalah sosial ekonomi dari sudut pandang Islam, juga menulis buku-buku materi kajian agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan hadis adalah al-Sunnah wa Makanatuba fi al-tasyri’i al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan kaum Suni dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1991, cetakan pertama.
Penelitian yang dilakukan Mushthafa al Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya mengunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai literatur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu yang tidak singkat. Penerjemah buku ini, Nurcholish Madjid mengatakan: “Seperti dapat kita baca dari buku Mushthafa al-Siba’iy ini, proses pencatatan dan pengumpulan bahan “laporan” itu memakan waktu cukup panjang, selama 200 tahun, sejak dari masa rintisan Syihab al-Dina al-Zuhri (wafat 124 H./724M.) sampai penyelesaian al-Nasa’iy (wafat 303 H./916 M.), salah seorang tokoh al-Kuttab al-Sittah”.
Hasil penelitian yang dilakukan Mushthafa al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadis, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, Kitab-kitab tentang Hadis-hadis Palsu dan Para Pemalsu dan penyebarannya.
Selanjutnya Al-Siba’iy juga menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah dan Mutakallimin, para penulis modern dan kaum Muslimin pada umumnya terhadap al-Sunnah. Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di masa sekarang yang mengingkari kehujjahan al-sunnahdisertai pembelaannya.
Dengan melihat isi penelitian yang dikemukakan di atas, al-Siba’iy nampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya diarahkan untuk melakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan data apa adanya, sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.

3.   Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah salah seorang ulama jebolan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Menurut Quraish Shihab buu ini telah menimbulkan tanggapan yang berbeda, sehingga menjadi salah satu buku terlaris dengan lima kali naik cetak dalam waktu antara Januari-Oktober 1989.
Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitiab hadis yang dilakukan Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut. Dengan kata lain Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadis yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan fikih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mutawatir.
Masalah yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tentang kesahihan hadis dan persyaratannya, ia mengungkapkan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, salat tahiyat masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar, wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kesaksian wanita dalam kasus-kasus pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika makan, minum, berpakaian dan membangun rumah, kemasukan setan: esensi dan cara pengobatannya, memahami al-Qur’an secara serius, hadis-hadis tentang masa kekacauan, antara sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.
Berbagai masalah yang dimuat dalam buku tersebut nampak didominasi oleh masalah-masalah fikih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya disinggung secara sepintas saja. Di sini menunjukan kecenderungan peneliti menekuni masalah fikih.


4.   Model Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Irqiy
Al-Hafidz Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Irqiy yang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadis generasi berikutnya. Ia disebutkan sebagai penganut mazhab Syafi’i, belajar di Mesir dan mendalami bidang fikih. Di antara gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn ‘Udlanyang keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi’i. Selain itu ia juga dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu qira’at dan hadis.
Mengingat sebelum zaman al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadis dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitia yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku inilah buat pertama kali mengemukakan macam-macam hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadis yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif.kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al-munqatil. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadis yang syadz dan munkar.
Dalam buku tersebut dikemukakan tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat diterima riwayatnya, cara menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tatakrama kesopanan para ahli hadis dan lainnya yang berkaitan dengan adanya hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan cara mengkompromikannya.

5.      Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya terdapat pula model penelitian hadis yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rifat Fauzi Abd al Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Hasil penelitian itu dilaporkan dalam bukunya berjudul Tautsiq al-Sunnah fi al-Qurn al-Tsaniy al-Hijri Ususubu wa Itijabat. Selanjutnya Mahmud Abu Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. dalam bukunya berjudul Adlwa’a ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, tanpa menyebutkan tahun terbitnya. Sementara itu Mahmud Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad yang disampaikan dalam bukunya berjudul Ushul al-Takbrij wa Dirasat al-AsanidUshul al-Takbrij wa Dirasat al-Asanid, diterbitkan tanpa tahun. Disusul pula oleh Ahmad Muhammad Syakir yang meneliti buku Ikhtisbar ‘Ulum al-Hadits karya Ibn Katsir (701-774 H) dalam bukunya al-Baits al-Hadits Syarb Ikhtisbar Ulum al- Hadits yang diterbitkan di Beirut, tanpa tahun.
            Dalam pada itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada hasil penelitian tersebut. Di antaranya Muhammad Ajjaj al-Khatib menulis buku Ushul al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu; Adib Shalih menulis buku berjudul Lahmat fi Ushul al-Hadits; dan Nur al-Din Atar menulis buku berjudul Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, yang diterbitkan Dar al-Fikr tanpa tahun.
            Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu ke-Islaman. Penelitian hadis nampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual nampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis dan sebagainya nampak belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, nampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih bersifat persial.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar