“MODEL-MODEL
PENELITIAN HADIS”
Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-hadis pun telah banyak
diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan pengertian terhadap al-hadis
lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini
antara lain dilihat dari segi datangnya al-Qur’an dan hadis berbeda. Kedatangan
(wurud), atau turun (nuzul)nya al-Qur’an diyakini secara
mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’anpun yang diragukan
sebagai yang bukan berasal dari Allah SWT. atas dasar ini maka dianggap tidak
perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan.
Hal ini berbeda dengan al-hadis. Dari segi datangnya hadis tidak seluruhnya
diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal
ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis yang tidak bersifat
mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadis pada zaman
Rasulullah aga kurang, bahkan beliau pernah melarangnya; dan juga karena
sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan
para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segepan tenaga,
pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadis, dan hasilnya
penelitiannya itu dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan
Sahih Muslim (820-875).
Karena begitu luasnya peredaran dan pengaruhnya dari kedua
macam kitab tersebut, maka belakangan datang para peneliti yang selain
menggunakan pendekatan perbandingan (comparativ) juga melakukan kritik. Ulama
yang paling keras mengkritik Bukhari adalah al-Daruquthni. Ia mengatakan bahwa
tidak semua hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim diterima oleh
ulama secara sepakat. Di antara ulama yang tidak menerima adalah dia sendiri,
karena di dalamnya terdapat hadis mu’allaq. Bagian-bagian lain yang dikritik
antara lain: a) Berkaitan dengan lebih atau kurangnya rawi; b) berkaitan dengan
perbedaan rawi disebabkan perubahan sanad; c) Berkaitan dengan penyendirian
(fard) rawi; dan penyebutannya pada kali yang lain tanpa sanad hanya sebagai
syahid saja.
Sebagaimana halnya pada Bukhari, pada Muslimpun datang pula
ulama yang memuji dan mengkritiknya. Ulama yang memuji Muslim antara lain ulama
dari al-Maghriby dan al-Naisaburi. Sedangkan ulama yang mengkritiknya seperti
al-Daruquthny yang mengatakan: “Seandainya tidak ada Bukhari, Muslim tidak akan
ada.” Kritik yang bernada meremehkan Imam Muslim ini berkisar pada masalah
sanad atau matan.
Namun demikian kritik terhadap kedua kitab tersebut tidak
akan sampai menjatuhkan kesahihan kitab tersebut, dengan dua alasan: a) Kritik
pada sanad itu muncul ketika Bukhari menerima riwayat seseorang yang oleh orang
lain diangap memiliki kelemahan karena dia menganggap lebih dekat dan lebih
tahu terhadap rawi tersebut; b) terdapatnya hadis-hadis mu’allaq dalam Sahih
Bukhari hanyalah sekedar untuk menjelaskan hadis-hadis lainnya yang sanadnya
sudah ada.
Selanjutnya terdapat pula penelitian terhadap hadis Bukhari
Muslim dengan menggunakan pendekatan perbandingan. Menurut hasil penelitian
Jumhur Ulama, bahwa Sahih bukhari lebih tinggi nilainya dari Sahih Muslim
dengan alasan: 1) Persyaratan yang dikemukakan Bukhari lebih ketat dibandingkan
persyaratan yang dikeluarkan Muslim; 2) Kenyataan menunjukan bahwa kritik
terhadap Bukhari lebih sedikit dibandingkan kritik yang ditujukan pada Imam
Muslim. Hal ini dapat dilihat, misalnya: a) Rijal hadis Bukhari yang dikritik
hanya 80 orang, sedangkan terhadap Muslim 180 orang; b) Kritik terhadap matan
al-Bukhari haya 76 orang, sedangkan terhadap Muslim 180 orang; 3) Perawi hadis
Bukhari yang dikritik adalah orang-orang yang diketahiu keadaannya oleh
Bukhari, atau Bukhari lebih kenal pada orang tersebut daripada orang yang
mengkritiknya.
Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Sahih Muslim jauh
lebih memiliki kelebihan dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihan
tersebut antara lain: 1) Sistematikanya lebih baik; 2) Dari segi redaksi,
Muslim lebih diterima daripada Bukhari, karen Muslim lebih banyak meriwayatkan
dengan lafadz, sedangkan Bukhari lebih banyak meriwayatkan dengan makna,
sehingga redaksinya memiliki kelemahan. Hal ini antara lain, karena Bukhari
setelah mendengar hadis dari salah seorang perawi tidak langsung menuliskannya
sehingga kemungkinan lupa bisa terjadi. Oleh karena itu jika dijumpai perbedaan
matan yang terdapat pada kedua kitab tersebut, maka yang dipakai adalah matan
yang berasal dari Imam Muslim.
Melihat beberapa kelebihan yang terdapat pada Imam Muslim
tersebut, maka ulama Maghriby menganggap bahwa hadis Sahih Muslim lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan hadis Sahih Bukhari, karena meskipun persyaratan
Muslim dalam menerima hadis lebih sedikit dibandingkan dengan persyaratan
bukhari, namun sudah dianggap memenuhi persyaratan minimal, sedangkan penamhan
liqa’ yakni harus berjumpa antara sesama perawi dalam hadis Bukhari, mereka
menganggapnya sebagai berlebih-lebihan.
Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli
mengenai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab
tersebut. Hal ini hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun
hebatnya penelitian tersebut tetap memiliki kelemahan, disamping kelebihan
masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal di bidang hadis.
Peneliti hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.
1. Model
H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish
Shihab terhadap hadis menunjukan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya yang brejudul Membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan
hadis, yaitu mengenai hubungan hadis dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi
sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan
bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadis termasuk
pula al-Qur’an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis, dan
bukan uji hipotesa.
Hasil penelitian Quraish Shihab
tentang fungsi hadis terhadap al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an menekankan
bahwa Rasul SAW. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Qs. 16:44).
Penjelasan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk
dan sifat serta fungsinya.
2.
Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa al-Siba’iy yang dikenla
sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut
gerakan Ikhwanul Muslim, selain banyak menulis (meneliti) tentang
masalah-masalah sosial ekonomi dari sudut pandang Islam, juga menulis buku-buku
materi kajian agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan hadis adalah
al-Sunnah wa Makanatuba fi al-tasyri’i al-Islami yang diterjemahkan oleh
Nurcholish Madjid menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam
Sebuah Pembelaan kaum Suni dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta pada
tahun 1991, cetakan pertama.
Penelitian yang dilakukan Mushthafa
al Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan
historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem
penyajiannya mengunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia
berupaya mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai
literatur hadis sepanjang perjalanan kurun waktu yang tidak singkat. Penerjemah
buku ini, Nurcholish Madjid mengatakan: “Seperti dapat kita baca dari buku
Mushthafa al-Siba’iy ini, proses pencatatan dan pengumpulan bahan “laporan” itu
memakan waktu cukup panjang, selama 200 tahun, sejak dari masa rintisan Syihab
al-Dina al-Zuhri (wafat 124 H./724M.) sampai penyelesaian al-Nasa’iy (wafat 303
H./916 M.), salah seorang tokoh al-Kuttab al-Sittah”.
Hasil penelitian yang dilakukan
Mushthafa al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan
tersebarnya hadis mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadis
dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah,
dibukukannya Ilmu Musthalah al-Hadis, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, Kitab-kitab
tentang Hadis-hadis Palsu dan Para Pemalsu dan penyebarannya.
Selanjutnya Al-Siba’iy juga
menyampaikan hasil penelitiannya mengenai pandangan kaum Khawarij, Syi’ah,
Mu’tazilah dan Mutakallimin, para penulis modern dan kaum Muslimin pada umumnya
terhadap al-Sunnah. Dilanjutkan dengan laporan tentang sejumlah kelompok di
masa sekarang yang mengingkari kehujjahan al-sunnahdisertai pembelaannya.
Dengan melihat isi penelitian yang
dikemukakan di atas, al-Siba’iy nampak tidak netral. Ia berupaya mengumpulkan
bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya diarahkan untuk melakukan
pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan data apa
adanya, sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
3.
Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan
hasil penelitiannya tentang hadis dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah salah seorang ulama jebolan Universitas
Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah
seorang penulis Arab yang sangat produktif. Menurut Quraish Shihab buu ini
telah menimbulkan tanggapan yang berbeda, sehingga menjadi salah satu buku
terlaris dengan lima kali naik cetak dalam waktu antara Januari-Oktober 1989.
Dilihat dari segi kandungannya yang
terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitiab hadis yang dilakukan
Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji
dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di
masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada
konteks hadis tersebut. Dengan kata lain Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu
memahami hadis yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru
dihubungkan dengan berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat. Corak
penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil
penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunakan
pendekatan fikih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran
Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan al-Qur’an dan
al-Sunnah yang mutawatir.
Masalah yang terdapat dalam buku
hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia
menjelaskan tentang kesahihan hadis dan persyaratannya, ia mengungkapkan
tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash,
salat tahiyat masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara
kerudung dan cadar, wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid,
kesaksian wanita dalam kasus-kasus pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika
makan, minum, berpakaian dan membangun rumah, kemasukan setan: esensi dan cara
pengobatannya, memahami al-Qur’an secara serius, hadis-hadis tentang masa
kekacauan, antara sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.
Berbagai masalah yang dimuat dalam
buku tersebut nampak didominasi oleh masalah-masalah fikih yang aktual.
Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi hanya
disinggung secara sepintas saja. Di sini menunjukan kecenderungan peneliti
menekuni masalah fikih.
4.
Model Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin
Al-Husain Al-Irqiy
Al-Hafidz Zain al-Din ‘Abd al-Rahim
bin Al-Husain Al-Irqiy yang hidup tahun 725-806 tergolong ulama generasi
pertama yang banyak melakukan penelitian hadis. Bukunya berjudul al-Taqyid wa
al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadis tertua
yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh
para peneliti dan penulis hadis generasi berikutnya. Ia disebutkan sebagai
penganut mazhab Syafi’i, belajar di Mesir dan mendalami bidang fikih. Di antara
gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn ‘Udlanyang keduanya termasuk pendiri mazhab
Syafi’i. Selain itu ia juga dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu
qira’at dan hadis.
Mengingat sebelum zaman al-Iraqy
belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadis
dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama
yang dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat
penelitian awal, yaitu penelitia yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan
untuk digunakan membangun suatu ilmu. Buku inilah buat pertama kali
mengemukakan macam-macam hadis yang didasarkan pada kualitas sanad dan
matannya, yaitu ada hadis yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif.kemudian
dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya
menjadi hadis musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, al-munqatil.
Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi
hadis yang syadz dan munkar.
Dalam buku tersebut dikemukakan
tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat diterima riwayatnya, cara
menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tatakrama kesopanan para ahli hadis
dan lainnya yang berkaitan dengan adanya hadis-hadis yang secara lahiriah
bertentangan dengan cara mengkompromikannya.
5.
Model Penelitian Lainnya
Selanjutnya terdapat pula model
penelitian hadis yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja.
Misalnya, Rifat Fauzi Abd al Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang
perkembangan al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Hasil penelitian itu dilaporkan
dalam bukunya berjudul Tautsiq al-Sunnah
fi al-Qurn al-Tsaniy al-Hijri Ususubu wa Itijabat. Selanjutnya Mahmud Abu
Rayyah melalui telaah kritis atas sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. dalam
bukunya berjudul Adlwa’a ‘Ala al-Sunnah
al-Muhammadiyah, tanpa menyebutkan tahun terbitnya. Sementara itu Mahmud
Al-Thahhan khusus meneliti cara menyeleksi hadis serta penentuan sanad yang
disampaikan dalam bukunya berjudul Ushul
al-Takbrij wa Dirasat al-AsanidUshul al-Takbrij wa Dirasat al-Asanid,
diterbitkan tanpa tahun. Disusul pula oleh Ahmad Muhammad Syakir yang meneliti
buku Ikhtisbar ‘Ulum al-Hadits karya
Ibn Katsir (701-774 H) dalam bukunya al-Baits
al-Hadits Syarb Ikhtisbar Ulum al- Hadits yang diterbitkan di Beirut, tanpa
tahun.
Dalam pada
itu ada pula yang menyusun buku-buku hadis dengan mengambil bahan-bahan pada
hasil penelitian tersebut. Di antaranya Muhammad Ajjaj al-Khatib menulis buku Ushul al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu;
Adib Shalih menulis buku berjudul Lahmat
fi Ushul al-Hadits; dan Nur al-Din Atar menulis buku berjudul Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, yang
diterbitkan Dar al-Fikr tanpa tahun.
Berdasarkan
pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadis tumbuh menjadi salah
satu disiplin ilmu ke-Islaman. Penelitian hadis nampak masih terbuka luas
terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian
terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak
dilakukan. Demikian pula penelitian hadis-hadis yang ada hubungannya dengan
berbagai masalah aktual nampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam
memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis,
paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis dan sebagainya nampak
belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari keadaan
demikian, nampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih
bersifat persial.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar